English / Bahasa
I worked at Adidas shoe supplier PT Panarub to support both my immediate family and my elderly parents. After my dismissal from Panarub in 2005, I have found it really difficult to obtain employment. I feel that as a union organiser at Panarub other footwear factories are reluctant to employ me. If feel that I’ve been blacklisted. Despite all my efforts applying to positions as often as possible, I just haven’t been successful. Companies these days are more likely to want workers who have just graduated from school. In other words, they want workers who are still young and (so they believe) more productive. There are many obstacles: my age, my height, competition against new graduates… it makes it difficult.
After losing my job, my everyday routine has been filled with activities which might ordinarily be carried out by women. Every morning I bathe my child, I change his clothes, I feed him. I even go to the local Posyandu a clinic for infant and maternity health, to have him weighed and receive his immunisation. I carry out all these tasks with great happiness. But to be truthful, I also feel a bit ashamed when I face my neighbours, whose children are all cared for by their mothers. But there’s not much we can do as like it or not my wife is the one who still holds a job.
Even then, the living costs of paying rent, electricity or buying powdered milk aren’t covered by my wife’s wage. Just to get by we have had to go into debt. We are indebted to some of our neighbours- this is difficult. When it comes to our situation now, I don’t know who else to tell, or who else can help us find a solution.
Sometimes when my child is invited to play at a neighbour’s place I travel around looking for work. I often find it difficult to get information about openings. To date I’ve sent close to 20 applications but I haven’t heard back from a single one.
The situation makes me feel like I should be angry and shout out about how nasty this treatment has been—adidas promising one thing and then standing by as we are stripped of our fundamental rights and our opportunities. But one way or another, I find a way to stay calm, to swallow up the bitterness of these trials that I face.
I still have a great hope that adidas will take responsibility and respond to situation I am dealing with by fulfilling their promise to help me get work.
In peace and struggle,
Hamdani purchases rice at the local grocery stall. Photo: Timothy herbert/OxfamAUS
Send a message to Hamdani…
Hamdani is interested to know your view on the situation faced by adidas footwear workers in Indonesia and elsewhere. He is also happy to answer any of your questions. But please be patient as it may take him a few days to respond.
Related Indonesian Blog – Blog yang terkait: Bahasa Indonesia
Seorang Bapak yang ingin menghidupi keluarganya
Latar belakang adanya saya bekerja di PT.Panarub Industry (supplier Adidas) adalah pemenuhan kelangsungan kebutuhan hidup ekonomi dan penopang ekonomi di keluarga untuk membantu orang tua dalam hal meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Setelah keluar atau di PHK oleh PT.panarub Industry dari tahun 2005 hingga saat ini sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa perusahaan yang memproduksi sepatu berbagai merk tidak mau menerima saya untuk dipekerjakan karena exs Pengurus PERBUPAS PT.Panarub Industry sudah di blacklist. Walaupun sudah berusaha secara maksimal setiap hari melamar tetapi tetap saja sulit mendapatkan pekerjaan. Perusahaan saat ini lebih memilih pekerja yang baru lulus sekolah dalam kata lain masih muda dan produktif. Inilah yang menjadi kendala dengan terbenturnya beberapa kendala salah satunya adalah: usia, tinggi badan, persaingan dengan lulusan-lulusan terbaru(sarjana). Sehingga berdampak pada sulitnya mendapatkan kesempatan pekerjaan
Setelah di PHK aktivitas saya adalah rutinitas yang sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh kaum ibu-ibu,seperti setiap pagi saya harus memandikan anak, terus menggantikan bajunya, memberi makan anak. Bahkan saya pun harus pergi ke posyandu untuk melakukan penimbangan berat badan dan imunisasi anak saya, tetapi saya melakukakan semua itu sangat dengan senang hati. Sebenarnya saya juga ada perasaan malu melihat tetangga-tetangga saya yang hampir semua anaknya di asuh oleh ibunya. Akan tetapi mau bagaimana lagi sedangkan istri saya bekerja jadi mau tidak mau saya menggantikan peran istri saya untuk melakukan kegiatan atau melakukan pekerjaan rumah dan juga merawat anak.
Belum lagi biaya hidup untuk bayar kontrakan, listrik dan lain sebagainya belum lagi susu bubuk untuk anak kami yang wajib harus dipenuhi tidak sebanding dengan upah yang diterima istri saya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang ada harus utang dan utang ke tetangga begitu sulit apa yang dialami keluarga kami terkadang saya harus mengadu kesiapa lagi kesulitan-kesulitan kami sehingga bisa ada solusinya.
Terkadang disaat anak saya diajak main oleh tetangga saya pun terkadang menyempatkan untuk mencari pekerjaan ke perusahaan-perusahaan. Namun sampai saat ini sepertinya nasib baik belum menghampiri saya sudah kurang lebih 20 lamaran kerja sudah saya buat namun tidak ada satupun yang berhasil diterima.
Dengan kondisi saya seperti ini ingin rasanya saya marah dan menjerit begitu kejamnya adidas melakukan pembiaran dan menelantarkan kami akan hak-hak fundamental untuk mendapatkan pekerjaan, tapi ini fakta yang terjadi mau tidak mau saya harus tegar dan menjalani kehidupan ini dengan menelan pahit-pahit cobaan yang saya alami.
Harapan yang sangat besar untuk saya bagaimana adidas bertanggung jawab dan merespon apa yang sedang dialami saya sehingga ada bentuk responsibility kemanusiaan agar saya mendapatkan pekerjaan yang tetap.
Terima kasih banyak.
Salam perjuangan,
Hamdani
Dukung kasus Hamdani. Ingatkan CEO adidas untuk memperhatikan para buruh yang membuat sepatunya dengan rasa kemanusiaan